Radar Argopuro com

di Negeri Konoha Semuanya Gila

Foto ilustrasi negeri konoha. 

Catatan Akhir Pekan

Sabtu 9 Agustus 25

@almultazamsdjo

Tahun 2024 lalu waktu nonton televisi, saya melihat dan mendengar Gibran berjanji akan membuka 19 juta lapangan kerja. Angka yang besar. Janji yang menggelegar. Luar biasa anak muda ini. Diam-diam saya berharap bisa memperoleh pekerjaan lebih baik dari yang sekarang. Terus terang hidup saya kembang kempis dengan gaji yang saya terima selama ini.

Belum genap setahun Gibran menduduki jabatan Wapres, justru yang terjadi ?  PHK. Ribuan karyawan, para cleaning service, para supir, semuanya dirumahkan. Katanya perusahaan menyesuaikan operasional. Katanya perekonomian lesu. Gak jelas apakah janji itu benar-benar sebuah rencana serius. Yang jelas mereka menganggur.

Sejak jadi pengangguran, mereka banyak  menghabiskan waktu di rumah. Menghibur diri dengan menonton TV. Tapi bukannya terhibur, malah tambah pening. Hampir setiap hari yang diberitakan cuma korupsi dan korupsi. Triliunan digarong. Ratusan miliar dikemplang. Modusnya berubah- ubah, hanya saja pelakunya sama. Orang-orang berdasi, yang saat ditangkap masih bisa melambai-lambaikan tangan sambil tersenyum ceria.

Untungnya ada wacana berkembang yang melegakan hati. Pemerintah akan memiskinkan para koruptor. Akan menyita semua aset. Akan membuat mereka kapok. Alhamdulillah. Begitu, dong, jadi penguasa. Harus bermental singa dan sesekali menunjukkan taringnya.

Namun, harapan tinggal harapan ? Ternyata vonis pada terdakwa koruptor hanya tiga tahun penjara. Ditambah denda lima ratus juta.  Padahal korupsinya kan 500 Milyar ? Masak dendanya 500 juta ? Setelah keluar dari penjara mereka tetap kaya raya. Mending jadi koruptor aja deh kalau gitu.

Dalam kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja ini, saya mulai menghitung setiap rupiah dengan sangat hati-hati. Saya mulai memangkas semua pengeluaran: langganan internet, camilan, bahkan beli sabun pun saya tunggu sampai diskon. Setiap malam saya menghitung berapa lama lagi saya bisa bertahan.

Perlahan tapi pasti dompet mulai menjerit. Saya pergi ke ATM. Karena dana sudah sangat menipis, rekening cadangan terpaksa ditarik. Tapi apa yang terjadi ? Layar ATM itu berkata. Transaksi ditolak. Saldo tidak bisa diakses. Saya ulangi lagi. Tetap sama. Lalu saya ke bank, dan di sanalah dunia saya seperti dijatuhkan dari atap gedung tanpa tali pengaman.

“Rekening Bapak diblokir karena sudah berbulan-bulan tidak ada transaksi,” kata petugas bank itu dengan nada sopan yang menusuk.

Sumpah mati saya teramat murka. Woy, bangsat ! Yang harus dimiskinkan itu koruptor ? Saya dan para korban PHK  gak perlu dimiskinkan, karena sudah miskin. Masak itu belum cukup ?

Pemblokiran rekening  dilakukan Ivan Yustiavandana Kepala PPATK yang sengaja memblokir rekening nasabah dalihnya untuk melindungi rakyat dari judol. Ini lebih gak masuk akal lagi. Kalau mau memberantas judol, ya tangkap bandar dan bekingnya si Budi "Dartohelm" Arie, Ketua Projo itu. Kejar adminnya. Masak malah rakyat yang diblokir rekeningnya ?

Ivan yang mengambil keputusan ini pasti IQ-nya 50 di bawah monyet ! Saya bukan pemain judol kok malahan dihukum tanpa dakwaan, dituduh tanpa bukti, dan dikunci aksesnya ke satu-satunya hal yang bisa menyambung hidup untuk keluarga.

Dengan hati gundah gulana, saya kembali mencoba menghibur diri dengan menonton televisi. Satu-satunya hiburan yang masih saya punya. Di sana saya mendengar bagaimana mafia tanah akan diberantas. Alhamdulillah. Akhirnya ada juga berita yang menggembirakan dari pemerintah.

Kegembiraan saya ternyata tidak berlangsung lama. Keesokan harinya muncul berita. “Tanah yang tidak produktif akan diambil alih oleh negara.” notifikasi katanya mau memberantas mafia tanah ? Jadi siapa mafia tanahnya. Hadeuh...

Saya baca pelan- pelan, berharap saya salah paham. Tapi tidak. Mereka benar- benar sedang merumuskan kebijakan: jika tanah milik rakyat dianggap tidak produktif, maka negara berhak mengambil alih demi kepentingan nasional. Tidak dijelaskan apakah lahan milik kakek saya yang ditanami pohon kelapa dan sesekali digunakan untuk acara tahlilan termasuk tidak produktif.

Dengan perasaan berkecamuk, saya mengambil HP dan membuka WA. Rencananya saya akan menelpon orangtua saya di kampung untuk memberitahukan berita itu. Belom sempat saya menelpon, sebuah notifikasi broadcast WA datang. Dan saya mulai membaca dengan perasaan ingin tahu.

“Komdigi sedang kaji pengguna internet harus membeli internet premium jika ingin WhatsUp Call.

What ???? Saya bukan orang yang gampang marah. Tapi ketika hak milik rakyat bisa dirampas atas nama produktivitas, ketika alat komunikasi rakyat kecil mau dimonopoli atas nama efisiensi, ketika rekening rakyat diblokir tanpa peringatan atas nama pembersihan sistem, saya mulai bertanya- tanya: ini negara atau perusahaan ?

Kalau semua harus bayar mahal untuk sekadar hidup wajar, kalau semua harus patuh meski tanpa logika, kalau semua harus diam meski dihina, maka saya mulai ragu apakah ini benar-benar pemerintahan rakyat, atau hanya panggung boneka tempat kekuasaan bermain akting. Negara ini, entah sejak kapan, kehilangan rasa. Hilang empati. Hilang martabat. Hilang rasa malu.

Saya bukan pesohor dengan ribuan follower yang bisa bikin heboh kalau terzalimi. Jadi kalo suatu saat nanti melihat saya berdiri di tengah jalan, memegang poster bertuliskan: Saya bukan koruptor. Saya hanya ingin uang saya kembali. Maka anggap saya gila. Anggap saja saya satu dari banyak orang waras yang sudah terlalu lama diam.

Dan kepada mereka yang duduk di kursi empuk, yang membuat kebijakan sambil menyeruput kopi 120 ribu per cangkir, izinkan saya mengucapkan satu kalimat pendek, dengan bahasa yang sopan, dengan logika yang jernih, dan dengan kesabaran yang hampir habis :

"Kalian ini, tololnya sudah sistemik".

Lebih baru Lebih lama
Radar Argopuro com